Senin, 15 Desember 2008

Berharap Diaspora, Internet di Masa Depan

Berharap Diaspora, Internet di Masa Depan

Teknologi internet sudah 15 tahun mengisi hidup manusia. Benarkah ia sudah memberi banyak manfaat?
JEJARING internet menjadi syarat baru kemajuan. Gelombang ekonomi yang bergerak di ruang maya semakin memperkuat asumsi tersebut. Dengan begitu, internet bisa mengangkat kesejahteraan manusia.
Kesejahteraan manusia terangkat lewat mekanisme hubungan sosial antarmasyarakat dunia. Dengan biaya murah, hubungan sosial via internet diasumsikan bisa menghadirkan lebih banyak bentuk kerja sama saling menguntungkan. Baik dari sisi ekonomi, solidaritas politik, pertukaran budaya, dan lain-lain.
Kira-kira begitulah yang disampaikan Rob van Kranenburg. Seorang yang menjabat head of program public domain pada Waag Society Belanda. Waag Society merupakan lembaga yang peduli pada kaitan antara perkembangan teknologi dan budaya. Lembaga ini berada di Amsterdam Belanda.
Namun, hubungan cantik itu sepertinya masih terlalu ideal bagi Indonesia. Kerja sama dan perputaran pengetahuan masih terlalu terfragmentasi pada sekelompok orang yang menyentuh teknologi ini saja.
Di sisi demografis penduduk, pengguna internet masih didominasi kalangan menengah ke atas dan berdomisili di kota besar. Penggunanya, menurut Departemen Komunikasi dan Infomasi, sekitar 27 juta jiwa. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 50 juta orang pada akhir 2008 dengan alasan biaya internet yang semakin murah.
Kenyataan itu tentu tidak terlalu menggembirakan. Bisa jadi perkembangan pesat teknologi internet tidak terlalu dirasakan sebagian besar penduduk di Indonesia. Akibatnya, jurang kesenjangan pengetahuan pun semakin lebar.
"Di negara Eropa pun kami masih belajar menggunakan internet. Karena awalnya semuanya berbarengan dalam 15 tahun terakhir. Tentu saja masih butuh peran pemerintah dan komponen masyarakat untuk memajukan internet," katanya saat diskusi "Media and Creativity" di Common Room Jln. Kyai Gede Utama, 28 Juli lalu.
Tentu saja tanggung jawab penyediaan infrastruktur tersebut terletak di tangan pemerintah. Sebagai penyelenggaran negara yang menjalankan amanat konsititusi perihal meningkatkan kecerdasan bangsa, mutlak pemerintah menyediakan akses yang lebih mudah. Mendekatkan masyarakat dengan internet merupakan salah satu menuntaskan amanah.
Menanggapi hal ini, Gustaf mengatakan, hambatan teknologi merupakan satu hal yang menghambat kerja sama global. Selama ini, kata dia, kurangnya akses teknologi merupakan hambatan bagi perkembangan beberapa industri kecil dan menengah. "Kurangnya akses teknologi internet, memengaruhi pula minimnya akses pengetahuan," katanya.
Tantangan ke depan
Di masa datang, sebuah teknologi akan mampu memberikan kemudahan lebih jauh dalam kehidupan manusia. Ilustrasi sederhananya, orang tidak perlu menyediakan ruang untuk seperangkat set televisi sekadar menonton acara favorit karena tayangan virtual dengan mudah muncul di hadapan. Inilah sebuah visi teknologi "cerdas" yang akan menjadi bagian kehidupan manusia. Cukup dengan sensor dan perangkat kecil bernama chip, hidup manusia akan lebih ringan.
Dalam istilah teknisnya disebut Ambient Intelligence. Pertama kali dipresentasikan oleh pusat penelitian Philips di tahun 1998. Philips membagi visi ini dalam berbagai kerja sama laboratorium komputer, komunikasi, dan telekomunikasi, misalnya dengan laboratorium media di MIT.
Projek ini pun diteliti di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Spanyol, Prancis, dan Belanda. Di tahun 2004, simposium negara-negara Eropa diselenggarakan pertama kali guna membahas visi ini.
"Ini akan menjadi tantangan lain bagi pemerintah dan masyarakat sipil di banyak negara, termasuk Indonesia," ujar Rob. ***
agus rakasiwi kampus_pr@yahoo.com

1 komentar:

  1. Internet di masa depan secepat apa ya...? hmm...

    oia, jangan lupa mampir ke sini ya...

    BalasHapus