Berdasarkan data di Jardiknas, jumlah lembaga pendidikan di negeri ini, mulai SD hingga PT, baik negeri maupun swasta, hingga 15 Juni 2008 tercatat sekitar 200.833. Jumlah ini tentu saja belum termasuk sekolah-sekolah tertentu yang terhadang oleh beberapa kendala teknis. Ribuan lembaga pendidikan tersebut tersebar di 33 provinsi, mulai Nanggroe Aceh Darussalam hingga Irian Jaya Barat. Hitungan kasar, kalau dalam satu lembaga pendidikan mendidik, katakanlah, 100 anak, setidaknya ada sekitar 20.083.300 anak-anak bangsa yang tengah digembleng. Sungguh, bukan jumlah yang sedikit. Jika anak-anak negeri ini terdidik dengan baik, jelas mereka bisa menjadi “investasi” masa depan dan modal sosial yang cukup membanggakan untuk membangun Indonesia yang cerdas dan visioner.

Menggembleng anak dalam jumlah jutaan semacam itu jelas bukan persoalan yang mudah. Apalagi, mereka tersebar di berbagai wilayah teritorial yang beragam karakter dan latar belakang sosialnya. Ada kesenjangan yang begitu lebar antara kota dan desa. Kompetensi gurunya pun jelas mengalami ketimpangan karena faktor fasilitas dan kemudahan mengakses informasi dan keilmuan. Mereka yang tinggal di kota jelas memiliki kemudahan dalam memutakhirkan pengetahuan dan keilmuan melalui akses media publik semacam internet. Sementara itu, yang tinggal di daerah pedesaan dan pedalaman? Atau, yang lebih tragis, mereka yang tinggal di kawasan yang masuk kategori terpencil? Alih-alih memutakhirkan ilmu, bisa konsisten mengasah kerak ilmu yang memfosil dalam tempurung kepala saja sudah termasuk layak dikagumi.

Alangkah cerahnya masa depan negeri ini jika anak-anak dusun dan pelosok yang sekarang tengah gencar memburu ilmu di bangku sekolah mendapat bekal keilmuan yang sama dengan saudara-saudaranya yang tinggal di kota. Harapan itu bisa terwujud jika mereka mendapatkan layanan pendidikan yang baik dan bermutu.

Saya jadi berkhayal. Ketika anak-anak belajar, mereka tidak lagi dicekoki oleh suara guru yang seringkali terdengar sumbang, bahkan seringkali mengindoktrinasi siswa didiknya melalui pendekatan behaviouristik yang cenderung memperlakukan siswa sebagai objek yang tak tahu apa-apa. Mereka juga tidak rawan kena TBC akibat terlalu banyak menyedot serbuk kapur tulis yang memenuhi ruang kelas yang pengap dan sumpek.

Alangkah menarik dan menyenangkan kalau setiap hari anak-anak bisa belajar secara leluasa, tanpa dibatasi oleh empat dinding “penjara” kelas. Mereka bisa mengakses informasi dan pengetahuan melalui aktivitas surfing di internet. Dalam mengerjakan tugas, mereka tak lagi menghabiskan banyak duit untuk beli kertas dan alat tulis. Mereka cukup duduk di depan layar monitor, menjawab tugas dari blog gurunya, lantas mengumpulkannya melalui attachment file ke alamat e-mail gurunya. Otak mereka dipenuhi dengan informasi dan pengetahuan baru yang mereka update lewat surfing di internet, menjelajahi situs dan blog yang sarat dengan ranah ilmu yang mencerahkan. Aktivitas pembelajaran jadi lebih aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Guru pun juga senantiasa tertantang untuk selalu meng-update wawasan keilmuan.

Sayangnya, khayalan semacam itu hanya bisa mengendap di lorong imajinasi saya. Secara jujur mesti diakui, dunia pendidikan kita masih amat miskin sentuhan pembelajaran elektronik (e-learning). Boro-boro siswa yang tinggal di pelosok-pelosok dusun, para siswa yang tinggal di kota pun belum semuanya mampu bersentuhan dengan internet.

Sistem pembelajaran elektronik atau e-pembelajaran (Inggris: Electronic learning disingkat E-learning) adalah cara baru dalam proses belajar mengajar. E-learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan e-learning, peserta ajar (learner atau murid) tidak perlu duduk dengan manis di ruang kelas untuk menyimak setiap ucapan dari seorang guru secara langsung. E-learning juga dapat mempersingkat jadwal target waktu pembelajaran, dan tentu saja menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh sebuah program studi atau program pendidikan.

E-learning telah mempersingkat waktu pembelajaran dan membuat biaya studi lebih ekonomis. E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan bahan/materi, peserta didik dengan dosen/guru/instruktur maupun sesama peserta didik. Peserta didik dapat saling berbagi informasi dan dapat mengakses bahan-bahan belajar setiap saat dan berulang-ulang, dengan kondisi yang demikian itu peserta didik dapat lebih memantapkan penguasaannya terhadap materi pembelajaran.

Dalam e-learning, faktor kehadiran guru atau pengajar otomatis menjadi berkurang atau bahkan tidak ada. Hal ini disebabkan karena yang mengambil peran guru adalah komputer dan panduan-panduan elektronik yang dirancang oleh “contents writer”, designer e-learning dan pemrogram komputer. (Sumber: Wikipedia)

Wah, sungguh, para pengambil kebijakan mesti mulai meliriknya. Jaringan infrastruktur informasi harus terus dibangun secara merata hingga ke pelosok yang terpencil sekalipun. Suatu ketika, mudah-mudahan khayalan saya yang ngelantur tadi bisa terwujud.

Kompetisi Blog elearning Nah, beberapa waktu yang lalu saya sempat blogwalking ke blog Pak Dani Iswara. Dalam sebuah postingannya, beliau menginformasikan tentang Lomba Blog eLearning Indonesia dalam Edufiesta yang digelar oleh acer-elearning. Informasi selengkapnya, silakan meluncur ke blog Pak Dani Iswara. Dalam pengumuman, lomba tersebut memang hanya diperuntukkan bagi dosen dan mahasiswa. Namun, dalam forum tanya-jawab, lomba ini akhirnya dinyatakan terbuka juga untuk guru dan siswa.

Para dosen, mahasiswa, guru, dan siswa yang kebetulan juga seorang bloger bisa ikut meramaikan kompetisi ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Disediakan hadiah menarik, mulai Notebook Ferrari hingga uang tunai. Makanya, buruan daftar. Bukan semata-mata hadiahnya, melainkan lebih sebagai upaya “starting point” agar dunia pendidikan kita mulai memanfaatkan pembelajaran elektronik sebagai pendekatan dalam aktivitas pendidikan mutakhir. Nah, bagaimana? ***

Tulisan Terkait: